Rabu, 20 Januari 2016

Gelar Doktor untuk Khadiq, Dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Surakarta merupakan salah satu wilayah yang pernah menjadi basis bagi gerakan Komunisme di Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini gerakan Komunis dominan secara politik.
Konflik antara Islam dan Komunisme di Surakarta yang pernah terjadi sejak kemerdekaan merupakan fenomena baru. Sebelum itu, pada masa kolonial Belanda, di wilayah tersebut keduanya pernah bersinergi dalam perjuangan menentang Kapitalisme dan Kolonialisme. Setelah merdeka, Islam dan Komunisme berkembang dalam basis dukungan massa rakyat bawah, buruh dan petani. Pada situasi kemerdekaan, justru keduanya terlibat dalam persaingan-persaingan yang berujung konflik serius pada akhir tahun 1965.
Ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai akar konflik antara Islam dengan Komunisme di wilayah Surakarta. Apa yang terjadi di Surakarta tidak bisa dipisahkan dari pengaruh politik di tingkat nasional. Kedekatan Islam dengan pemerintah Jepang sebelum kemerdekaan menjadi pengalaman yang berbeda bagi Komunisme yang justru mendapatkan tekanan. Perpindahan ibukota ke Yogyakarta turut menjadikan Surakarta sebagai basis aktivitas berbagai kesatuan hingga muncul persaingan-persaingan yang berakhir dengan Peristiwa Madiun tahun 1948.
Bagi Islam, persaingan dengan Komunis di satu sisi justru memperkuat kebersamaan elemen-elemen di dalamnya di sisi lain, kaum tradisionalis dan modernis. Kebersamaan NU sebagai wadah umat Islam tradisional dan Masyumi sebagai wadah umat Islam modern setelah berpisah tahun 1952 kembali terjalin. Di tingkat lokal Surakarta keduanya lebih mampu bersama-sama bersaing dengan kelompok Komunis. Ketika Masyumi telah bubar, para anggotanya banyak yang tetap menjaga kerjasama dengan NU hingga masa penumpasan terhadap unsur-unsur Komunis setelah peristiwa 30 September 1965.
Dalam promosi ujian terbuka di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 Januari 2016 dengan disertasinya yang berjudul “Islam Dan Komunisme: Gerakan Politik di Surakarta 1945-1966, Khadiq mengungkapkan bahwa hubungan kekerabatan dan pertemanan cukup mampu menjaga keharmonisaan hubungan mereka sehari-hari di pedesaan. Akan tetapi setelah terjadi peristiwa G.30.S di Jakarta tiba-tiba terjadi sebuah konflik massa di pedesaan Surakarta hingga jatuh korban. Pada akhir Oktober 1965 Komunis terprovokasi untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan sadis di beberapa tempat, bahkan terhadap orang yang telah dikenal sebelumnya. Selanjutnya peristiwa itu berbalik menimbulkan situasi massa dari kelompok Islam bersama kelompok lain yang kemudian anti Komunis. Dalam suasana panik, takut, sekaligus marah, aparat keamanan datang untuk membantu rakyat dan memulihkan keamanan sehingga kembali terjadi konflik yang memakan korban dari kaum Komunis. Dalam situasi marah, takut, dan alasan ideologi, masyarakat tidak berpikir panjang apa yang ada di balik berbagai peristiwa itu.
Dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga ini juga menambahkan, bahwa ideologi merupakan sebuah kekuatan yang besar untuk menggerakkan orang atau kelompok tertentu, termasuk dalam dunia politik. Apa yang terjadi di Surakarta menunjukkan bagaimana sebuah gerakan politik yang memanfaatkan ideologi terbukti sangat efektif untuk menggerakkan masyarakat, terlepas dari apapun agamanya.
Setelah berhasil mempertahankan keberatan di depantim penguji yang diketuai Prof. Dr. Marsono, Khadiq dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. Khadiq merupakan doktor ke 3021 di Universitas Gadjah Mada, ke 222 di Fakultas Ilmu Budaya, ke 211 dalam bidang humaniora, dan doktor ke 38 dalam kajian sejarah.

sumber : http://uin-suka.ac.id/id/berita/detail/1148/gelar-doktor-untuk-khadiq-dosen-fakultas-dakwah-uin-sunan-kalijaga-yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar